"Sudah ketemu dan dikonfirmasi oleh Basarnas (Badan SAR Nasional) dan KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi)," kata Kepala Tim Evakuasi Marinir Letkol Oni Junianto.
Kotak hitam itu ditemukan di sekitar lereng oleh tim evakuasi dan pencari korban Sukhoi SSJ 100. Mengambilnya ke permukaan bukan perkara mudah. Piranti mahapenting yang bisa mengungkap petaka itu terkubur di dalam tanah di antara pepohonan, terempas di kedalaman sekitar 200 meter dari dasar jurang dengan kemiringan 85 derajat.
Danrem 061 Surya Kencana Kolonel AM Putranto mengisahkan tim yang terdiri dari empat anggota Kopassus harus diturunkan helikopter menggunakan tali.
Ketua regu evakuasi tim Kopassus, Lettu Taufik, mengatakan pada mulanya mereka tidak mengenali kotak itu karena bentuknya sudah berbeda. Warnanya hitam, tanpa penutup. Diduga, kotak itu terlempar karena ledakan dan terbakar. "Langsung kami bawa dengan ransel," katanya.
Serah terima kotak hitam kepada Basarnas telah berlangsung Rabu pagi kemarin di landasan helikopter Pasir Pogor, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat. Komandan Korem 0621 Surya Kencana Kolonel Inf. AM Putranto menyatakan keyakinannya bahwa benda itu memang kotak hitam yang dicari-cari.
Oleh Basarnas, kotak hitam diserahkan ke KNKT. Lembaga inilah yang berwenang membedahnya. Tapi, KNKT tidak bertindak sendiri. Pihak Rusia memberikan bantuan untuk menganalisa isinya. Menurut Kepala Basarnas Marsekal Madya Daryatmo tim Rusia berperan sebagai pendamping saja.
Ketua KNKT Tatang Kurniadi menyatakan lembaganya akan mengungkap penyebab kecelakaan SSJ 100. Mereka butuh waktu 1-2 minggu untuk membaca rekaman CVR.
"Luarnya terbakar. Semoga bagian dalam masih bagus," kata Daryatmo.
Setelah diidentifikasi, staf Laboratorium Flight Recorder KNKT, Andreas Ricardo Hananto, menjelaskan tim SAR telah menemukan Cockpit Voice Recorder (CVR). Akan tetapi, Flight Data Recorder (FDR) belum ditemukan. Kotak hitam terdiri dari dua bagian, yakni CVR dan FDR.
Kotak hitam
Sejatinya, black box yang merekam data penerbangan tidak berwarna hitam, tapi oranye. Jejak warna oranye masih terlihat pada kotak hitam Sukhoi SSJ 100. Warna mencolok ini dimaksudkan untuk memudahkan pencarian saat misalnya tenggelam di laut.
Menurut howstuffworks.com, istilah "kotak hitam" boleh jadi berasal dari dua hal: warnanya memang hitam pada produksi pertama atau karena kotak itu selalu cenderung hangus terbakar akibat kecelakaan.
Menurut dokumen L-3 Communications, penemu pesawat Wright bersaudara telah memelopori penggunaan perangkat ini untuk merekam rotasi baling-baling. Perang Dunia II lalu meluaskan penggunaannya untuk merekam penerbangan.
Pada 1953, ada peristiwa yang menginspirasi pembuatan kotak hitam pertama. Itu adalah ketika ilmuwan Australia, David Warren, menyelidiki jatuhnya Komet De Havilland di India pada 1953. Berdasarkan laporan Time, Warren tidak dapat memastikan penyebab kecelakaan yang menewaskan 43 orang itu.
Sejak itu, selama beberapa tahun, dia lalu mengembangkan prototipe perekam penerbangan yang melacak informasi dasar seperti ketinggian dan arah pesawat. Terbungkus asbes dan logam, perekam data dan suara ini dijuluki “kotak hitam” karena tidak ada yang tahu cara kerjanya.
Kotak hitam berisi pita magnetik atau kaset mulai populer pada akhir 1950-an. Perangkat ini wajib digunakan penerbangan komersial pada 1960 atas instruksi Badan Penerbangan Federal AS. Setelah kotak hitam kerap ditemukan hancur dalam kecelakaan, pada 1965 posisinya dipindahkan ke bagian belakang pesawat, supaya lebih dapat bertahan.
Kini, kotak hitam tak lagi menggunakan kaset yang mudah meleleh. Perangkat itu kini menggunakan chip memori tanpa bagian bergerak, sehingga risiko kerusakan menjadi lebih kecil.
Kotak hitam seharusnya terdiri dari Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR). CVR berisi data audio percakapan yang terjadi di kokpit dengan durasi sekitar dua jam. FDR merekam data penerbangan selama 25 jam.
Dua perekam ini mampu menahan suhu hingga 2.000 F (sekitar 1.093 C) dan hantaman hingga 100 G; 1 G sama dengan kekuatan gravitasi bumi. Duet perangkat ini melacak percakapan pilot, suara mesin, perintah kontrol lalu-lintas udara, level bahan bakar, peralatan pendaratan, dan data-data lainnya yang merekam saat-saat terakhir pesawat.
Di luar kotak hitam
Persoalannya, usai kecelakaan pesawat, selalu saja sangat sulit mencari kotak hitam. Apakah tidak ada teknologi yang lebih memudahkan?
Hal itulah yang memicu produsen pesawat Kanada, Bombardier, merilis CSeries tipis pada bodi jet yang bakal dirilis 2013 mendatang. Dengan perangkat itu, pesawat ini akan menjadi pesawat komersial pertama dengan kemampuan mengirimkan data telemetri, bukan hanya merekamnya saja. Ide di baliknya adalah untuk streaming data secara real time baik secara langsung dari stasiun darat ataupun dengan satelit.
Kendati menjadi alternatif untuk menggantikan kotak hitam, tujuan utama inovasi Bombardier bukanlah untuk membantu penyelidikan pesawat jatuh. Perusahaan ini hendak membuat pusat data penerbangan yang menampung informasi operasi dan performa mekanis pesawat. Akan tetapi, dengan teknologi ini, data dapat disimpan dengan aman meski pesawat mengalami kecelakaan. Hanya dalam kesempatan yang langka, kecelakaan dapat merusak panel sirkuit sehingga tidak lagi bisa dibaca.
Soal kerahasiaan, pada prinsipnya jalur streaming suara bisa dienkripsi saat proses transmisi. Akan tetapi, inovasi ini masih ditentang untuk diimplementasikan. “Streamingdata suara tidak akan terjadi. Kita tidak butuh program reality show pesawat,” ujar Voss, seorang pakar keselamatan penerbangan, menyindir.
Biaya adalah persoalan lain dari teknologi baru ini. Penyimpanan datanya sendiri tergolong murah. Tapi, harga kapasitas bandwidth pada satelit untuk dapat menampung data lalu-lintas laut dan udara sangatlah mahal, sekitar US$1 per kilobyte.
Persoalan ekonomi ini jauh lebih menantang ketimbang persoalan teknis. Untuk menyediakan kapasitas bandwidth yang diperlukan untuk teknologi ini, diperlukan setidaknya 88 parameter untuk melayani 8.000 lebih penerbangan komersial pada saat ini.
Penemu telemetri, Seymour Levine, memperkirakan kebutuhan bandwidth maksimum untuk setiap penerbangan adalah sekitar 25 Mbps. Total penyimpanan data dalam sehari adalah sebesar 100Gb atau seperempat kuota memori internal iPod Classic.
Levine bersama istrinya telah mematenkan sistem yang mereka namai "Safelander" ini. Teknologi ini juga memungkinkan pilot berada di darat untuk mengendalikan pesawat yang sedang terbang dari jarak jauh. Dia menyatakan sistem ini bisa menggagalkan peristiwa pembajakan pesawat 9/11 yang sedang beroperasi di udara. Sistem ini juga berpotensi manjawab kebutuhan militer untuk merancang pesawat tanpa awak.
Demikian Artikel tentang Misteri Kotak Hitam Sukhoi Superjet 100 Semoga ada manfaatnya.
Sumber : Fokus.vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar